Cinta Indonesia

Search Article :

Loading

2 Apr 2010

BONEK vs AREMANIA


Hari ini persepakbolaan nasional sudah mulai menapak maju, dimana setiap klub sepakbola yang ada dibawah naungan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dibina untuk lebih profesional. Bentuk profesionalitas itu oleh PSSI dituangkan dalam format baru Liga Indonesia, dimana sejak tahun 1994 kompetisi yang sebelumnya terbagi dua disatukan dalam konsep Liga Indonesa dengan kasta tertinggi terletak pada Divisi Utama. Setelah berganti-ganti konsep dan format kompetisi, akhirnya pada tahun 2008 Divisi Utama Liga Indonesia berubah menjadi Indonesian Super League. Proses pembinaan kompetisi beserta klub-klub yang ada didalamnya diharapkan mampu membuat iklim sepakbola di Indonesia menjadi lebih modern dan mampu menelurkan bibit-bibit baru pemain asli Indonesia yang lebih berkualitas.

Kemajuan persepakbolaan nasional tentu harus diikuti oleh komunitas suporter yang menjadi basis pendukung sebuah klub sepakbola. Karena adalah sebuah omong kosong apabila sebuah klub sepakbola itu mampu bertahan tanpa dukungan suporter yang ada dibelakangnya. Tetapi sayangnya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya persepakbolaan Indonesia dikenal akan kerusuhan dan permainan yang menjurus kasar. Kerusuhan demi kerusuhan, entah itu akibat ketidakdewasaan suporter atau provokasi ofisial pertandingan kepada suporter menjadi cerita lama dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Konflik Jakarta-Bandung, Semarang-Jepara, Jogja-Solo, dan Malang-Surabaya menjadi cerita pasti mengenai aroma panas dalam konflik suporter di Indonesia.

Belum dewasanya suporter di Indonesia tentu menjadi penghambat bagi pengembangan profesionalitas klub-klub di Indonesia. Aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum suporter menjadi salah satu faktor lambatnya pengembangan profesionalitas klub Indonesia. Belajar dari kasus rasisme Aremania beberapa saat yang lalu tentu menjadi sebuah pelajaran berharga bagi seluruh elemen suporter yang ada. Kerugian sebesar hampir 1 miliar rupiah bagi Arema tentu menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Arema yang merupakan klub profesional tanpa dukungan dana APBD tentu kesulitan membayar gaji pemain dan lainnya. Padahal skala permasalahan baru sekitar denda dan hukuman, belum pada level anarkisme tingkat tinggi seperti perusakan stadion dan beberapa fasilitas, kerusuhan antar-suporter, hingga aksi-aksi kejahatan yang melibatkan komunitas suporter.

Salah satu pertarungan suporter yang paling sering disorot oleh media massa adalah rivalitas Aremania dan Bonek. Dua elemen suporter dari Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya ini memiliki tensi rivalitas yang sangat tinggi, dimana perseteruan antar kedua elemen suporter ini tak jarang berakhir dengan bentrokan, kerusuhan, kerusakan material, hingga jatuhnya korban jiwa. Ekspresi saling benci keduanya juga tertumpah ketika mendukung kesebelasan masing-masing, walaupun yang dihadapi adalah tim sepakbola selain Arema Indonesia atau Persebaya Surabaya.

Konflik Aremania melawan Bonek sudah menjadi cerita lama dalam diskusi antar-suporter di Indonesia. Pertarungan yang sudah mendarah-daging dalam kedua elemen suporter tersebut menjadi bumbu pedas dalam forum antar-suporter. Walaupun belum ada yang pernah memfilmkannya layaknya film Romeo-Juliet, tetapi aroma panas selalu terasa dalam kehidupan sehari-hari warga Malang dan Surabaya. Tidak jarang ditemui di rumah seorang Aremania segala atribut Bonek menjadi kain lap, sementara di Surabaya segala atribut Aremania menjadi keset.

Aroma panas kedua elemen ini tentu menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut, karena sifat persaingannya yang begitu kental dan sudah mendarah-daging. Belum lagi pembentukan iklim sepakbola Indonesia ke arah modern tentu harus mewaspadai satu hal yang kini masih menjadi kontroversi: industri sepakbola. Modernisasi sepakbola secara tidak langsung membawa dunia sepakbola ke arah industri, dimana pada akhirnya kapital juga ikut bermain dalam menentukan suasana dan atmosfir sebuah pertandingan. Bukan tidak mungkin beberapa peristiwa yang berkaitan dengan sepakbola Indonesia hari ini berkaitan erat dengan suasana pasar ekonomi.

Selain dari perspektif industri sepakbola, tentu konflik-konflik yang timbul juga tidak luput dari permasalah sosial dan budaya dalam sebuah masyarakat. Masalah hegemoni dan pengakuan akan ‘the one and the best’ juga menjadi salah satu permasalah konflik suporter Indonesia. Persoalan chauvinisme dan fanatisme dalam sebuah masyarkat juga tidak dapat dihilangkan sebagai faktor-faktor pemicu konflik. Belum lagi soal dendam yang berasal dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Begitu banyak permasalahan yang timbul dalam masyarakat sehingga terbawa dalam kancah sepakbola membuat stadion masih belum menjadi tempat yang nyaman dalam menikmati pertandingan sepakbola.

Dengan mempelajari proses historis perseteruan kedua kelompok suporter ini diharapkan adanya pembelajaran serta solusi agar konflik-konflik yang terbangun menjadi sportif dan tidak anarkis. Pengkajian akan sebuah konflik dengan memandang dari perspektif sosiologi –dimana masyarakat dan kondisi kultural akan menjadi objek yang dikaji– diharapkan akan timbul sebuah mediasi entah itu berupa negoisasi atau yang lainnya. Dengan begitu posisi suporter sebagai sebuah pendukung klub akan terjadi hubungan timbal balik dengan klub yang didukung. Selain itu diharapkan pula perdamaian antar-suporter sepakbola yang ada di Indonesia dapat terjadi.

Sejarah Aremania dan Rivalitas dengan Bonek
Tahun 1988 lahirlah Yayasan Arema Fans Club (AFC) yang didirikan oleh Ir. Lucky Acub Zaenal. Yayasan ini hadir sebagai basis kelompok suporter dari Yayasan PS Arema yang didirikan setahun sebelumnya. Tahun pertama AFC berdiri dipimpin oleh Ir. Lucky Acub Zaenal dengan 13 korwil (koordinator wilayah) yang ada dibawahnya. Keberadaan AFC yang begitu formal dan eksklusif membuat kalangan suporter yang berasal dari kelas bawah tidak mampu menjangkau organisasi tersebut. AFC sendiri pada akhirnya belum mampu menciptakan kerukunan antar-suporter di Malang, sehingga harus dibubarkan pada tahun 1994.

Kondisi chaos dalam kota, dimana sering terjadi perselisihan antar-geng yang berlanjut ke dalam stadion membuat kota Malang menjadi sepi di kala Arema bertanding. Banyak toko-toko dan warung-warung tutup, bahkan hingga mengunci pintu dan jendela. Beberapa narasumber bahkan menceritakan bahwa ketika itu seorang suporter membawa batu, pentungan, dan golok adalah hal biasa . AFC yang belum mampu menyatukan elemen-elemen suporter yang ada di Malang akhirnya membubarkan diri. Menjelang bubarnya AFC, beberapa suporter sepakbola Malang berkumpul dan mendiskusikan mengenai Aremania. Beberapa nama seperti Handoko, Yuli Sumpil, Ovan Tobing, Leo Kailola, dan Lucky Acub Zaenal yang merupakan pentolan dari beberapa kelompok suporter PS Arema di Malang berkumpul dan mengambil keputusan bahwa Aremania didirikan dalam sebuah organisasi non-formal (tanpa bentuk) tetapi terus menjaga persatuan dan sportivitas. Sehingga sejak saat itu tidak ada ketua resmi dari Aremania.

Ketiadaan ketua bukan berarti menimbul perpecahan dalam Aremania. Kultur masyarakat Malang yang egaliter membangun kebersamaan dalam ketiadaan struktur organisasi tersebut. Prinsip “sama rata, sama rasa, satu jiwa” yang dimiliki oleh warga Malang menjadikan Aremania menjadi kelompok suporter yang memiliki kekompakan dan persatuan yang kuat. Rasa egaliter pula yang membuat Aremania kompak dan mudah dikendalikan oleh Yuli dan Kepet, dirigen Aremania saat ini.

Titik balik Aremania terjadi pada tahun 1993, pasca PS Arema menjuarai kompetisi Galatama PSSI. PS Arema yang pada tahun-tahun sebelumnya belum memiliki begitu banyak pendukung, mendapatkan perpindahan pendukung begitu banyak dari Ngalamania. Kedewasaan arek Malang akan dampak negatif dari anarkisme membawa dampak positif bagi perjalanan Aremania selanjutnya. Aremania lalu mempelopori untuk selalu hadir mengawal pertandingan Arema di kandang lawan. Dimulai dari Cimahi pada tanggal 31 Mei 1995, Aremania selalu mengikuti kemanapun Arema pergi dan mendukung sembari menularkan virus suporter damai kepada elemen-elemen suporter lawan.

Bulan Mei 1996 Aremania berani untuk melakukan lawatan ke stadion ‘musuh abadi’ untuk mendukung Arema dan menularkan virus perdamaian ke Bonek yang menjadi elemen suporter Persebaya. Aremania datang dengan pengawalan dari DANDIM Kota Malang pada pertandingan yang disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur, dimana mereka menunjukkan eksistensi perdamaian yang dibawanya. Stadion Tambaksari yang dikenal ‘biadab’ karena jarangnya suporter lawan yang berani memasuki stadion tersebut akibat tekanan, intimidasi, kerusuhan, dan provokasi Bonek menjadi saksi eksistensi Aremania .

Rivalitas Malang Surabaya
Berbicara masalah persaingan dan rivalitas dua elemen suporter di Jawa Timur ini, maka kita tidak dapat mengesampingkan sejarah dan kultur sosial masyarakat masing-masing kota. Malang yang secara demografis adalah sebuah kota yang ada di pinggiran gunung, dimana pembangunan-pembangunan yang dilakukan sejak pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga zaman Orde Baru membawa kemajuan yang sangat pesat bagi kota ini. Kemajuan yang membuat masyarakatnya merasa mampu untuk menyaingi kota metropolitin sekelas Surabaya. Surabaya yang selalu dianggap ‘number one’ dalam berbagai kondisi membuat masyarakat Malang tidak terima dan menganggap arek Suroboyo adalah saingan utama mereka. Dalam tataran propinsi misalnya, dimana Malang merupakan kota kedua setelah Surabaya. Hal ini memicu kecemburuan sosial yang sangat tinggi oleh arek Malang terhadap arek Suroboyo .

Kondisi ‘tidak mau kalah’ ini membuat suhu konflik Malang-Surabaya begitu panas. Begitu juga dengan sepakbola, dimana suporter asal Malang selalu berusaha menyaingi suporter asal Surabaya. Arek Suroboyo sudah lama memiliki sifat bondho nekat, dimana pernah mereka aplikasikan dalam upaya melawan tentara sekutu dalam pertempuran 10 November 1945. Sifat bondho nekat yang masih menjadi kultur masyarakat Surabaya modern juga terbawa dalam sepakbola. Pada akhirnya, bondho nekat ini menjadikan suporter Surabaya saat itu terkesan brutal dan anarkis, seperti halnya Hooligans di daratan Eropa.

John Psipolatis pernah menyinggung akan perbedaan ‘suporter brutal’ dan ‘hooligan’ dalam kajiannya tentang sepakbola Indonesia. Ia menyatakan bahwa untuk di Indonesia lebih sesuai dengan sebutan ‘suporter brutal’, karena mereka datang ke stadion untuk menikmati pertandingan dan sesudahnya membuat onar. Sementara ‘hooligan’ belum pantas disandang oleh suporter di Indonesia karena Hooligan datang dengan niat untuk membuat kerusuhan tanpa menikmati pertandingan sepakbola.

Konflik dalam hal sepakbola dimulai sejak tahun 1967, dimana terjadi kerusuhan dalam pertandingan Liga Perserikatan antara Persebaya Surabaya melawan Persema Malang di Surabaya. Kondisi ini dibalas oleh arek-arek Malang dalam pertandingan Persema Malang melawan Persebaya Surabaya di Malang. Akhirnya, konflik suporter yang merupakan pertarungan geng Malang-Surabaya ini terus berlanjut pada tahun 70’an. Periode 80’an menjadi puncak ketegangan antara Bonek dan Ngalamania, dimana tahun 1984 terjadi ‘Perang Badar’ antara Ngalamania dengan Bonek. Peperangan yang terjadi antara Arek Malang dan Arek Suroboyo itu membuat Presiden Soeharto kala itu menyikapinya dengan ucapan “kalau sepakbola membuat persatuan hancur, lebih baik tidak usah”.

Rivalitas Bonek – Aremania
Berdirinya Armada 86 hingga berevolusi menjadi PS Arema pada tahun 1987 membuat konflik semakin memanas. Dalam kompetisi Perserikatan, Persema dan Persebaya sudah memanaskan suhu konflik antar-suporter di Jawa Timur. Dengan hadirnya Arema yang mengikuti kompetisi Galatama, suhu itu kian memanas dengan rivalitas Arema dan Niac Mitra Surabaya. Semifinal Galatama tahun 1992 yang mempertandingkan PS Arema Malang melawan PS Semen Padang di stadion Tambaksari Surabaya menghadirkan awalan baru sejarah konflik Aremania-Bonek. Arek Malang (saat itu belum bernama Aremania) membuat ulah di Stasiun Gubeng pasca kekalahan Arema Malang dari Semen Padang. Kapolda Jatim saat itu akhirnya mengangkut mereka dalam 6 gerbong kereta api untuk menghindari kerusuhan dengan Bonek.

Kejadian di Stasiun Gubeng itu membuat panas Bonek yang ada di Surabaya. Tindakan balasan mereka lakukan dengan mencegat dan menyerang rombongan Aremania pada akhir tahun 1993 saat akan melawat ke Gresik. Peristiwa ini dibalas oleh Aremania pada tahun 1996 dengan melakukan lawatan ke Stadion Tambaksari dengan pengawalan ketat DANDIM. Keberanian Aremania untuk hadir di Stadion Tambaksari kala pertandingan Persebaya melawan Arema saat itu telah membuat Bonek tidak bisa berbuat apa-apa dan harus menahan amarah mereka dengan cara menghina Aremania lewat kata-kata saja. Hal ini karena pertandingan tersebut disaksikan oleh para petinggi PSSI dan gubernur Jawa Timur saat itu, serta pengawalan ketat DANDIM kota Malang terhadap Aremania. Bagi Aremania, hal ini sudah sangat mempermalukan Bonek dengan datang langsung ke jantung pertahanan lawan sembari menunjukkan kesantunan Aremania dalam mendukung tim kesayangan. Semenjak itulah tidak ada kata damai dari Bonek kepada Aremania, dan Aremania sendiri juga menyatakan siap untuk melayani Bonek dengan kekerasan sekalipun.

Kejadian ini dibalas oleh Bonek di Jakarta pada tahun 1998. Tanggal 2 Mei 1998 dimana Aremania akan hadir dalam pertandingan Persikab Bandung vs Arema Malang, Aremania yang baru turun dari kereta di Stasiun Jakarta Pasarsenen diserang oleh puluhan Bonek. Ketika itu rombongan Aremania yang berjumlah puluhan orang menaiki bus AC yang sudah disiapkan oleh Korwil Aremania Batavia. Di tengah jalan, belum jauh dari Stasiun Pasarsenen tiba-tiba bus yang ditumpangi Aremania dihujani batuan oleh Bonek. Untuk menghindari jatuhnya korban, rombongan Aremania langsung turun dari bus untuk melawan Bonek yang menyerang mereka. Bahkan Aremania sampai mengejar-ngejar Bonek yang ada di Stasiun Pasarsenen. Tindakan Aremania ini mendapat applaus dari warga setempat, sehingga Bonek harus mundur meninggalkan area Stasiun Pasarsenen.

Kondisi rivalitas yang begitu panas antara Aremania dan Bonek membuat keduanya menandatangi nota kesepakatan bahwa masing-masing kelompok suporter tidak akan hadir ke kandang lawan dalam laga yang mempertemukan Arema dan Persebaya. Nota kesepakatan yang ditandatangani oleh Kapolda Jatim bersama kedua pemimpin kelompok suporter tersebut ditandatangani di Kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur pada tahun 1999. Semenjak tahun 1999, maka kedua elemen suporter ini tidak pernah saling tandang dalam pertandingan yang mempertemukan kedua klub kesayangan masing-masing.

Tetapi nota kesepakatan itu tidak mampu meredam konflik keduanya. Tragedi Sidoarjo yang terjadi pada bulan Mei 2001 menunjukkan masih adanya permusuhan kedua elemen ini. Kala itu pertandingan antara tuan rumah Gelora Putra Delta (GPD) Sidoarjo melawan Arema Malang di Stadion Delta Sidoarjo dalam lanjutan Liga Indonesia VII. Karena dekatnya jarak Surabaya-Sidoarjo membuat sejumlah Bonek hadir dalam pertandingan tersebut. Menjelang pertandingan dimulai, batu-batu berterbangan dari luar stadion menyerang tribun yang diduduki oleh Aremania. Kondisi ini membuat Arema meminta kepada panpel untuk mengamankan wilayah luar stadion. Karena lemparan batu belum berhenti membuat Aremania turun ke lapangan, sementara di luar stadion justru terjadi gesekan antara Bonek dengan aparat. Turunnya Aremania ke lapangan pertandingan membuat pertandingan dibatalkan. Terdesaknya aparat keamanan yang kewalahan menghadapi Bonek membuat Aremania membantu aparat dengan memberikan lemparan balasan ke arah Bonek. Aremania pun harus dievakuasi keluar stadion dengan truk-truk dari kepolisian.

Kejadian rusuh yang berkaitan antara Aremania dengan Bonek masih berlanjut pada tahun 2006. Kekalahan Persebaya Surabaya atas Arema Malang di stadion Kanjuruhan dalam laga first leg Copa Indonesia membuat kecewa Bonek di Surabaya. Seminggu kemudian, kegagalan Persebaya Surabaya mengalahkan Arema Malang di stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya membuat Bonek mengamuk. Laga yang berkesudahan 0-0 ini harus dihentikan pada menit ke-83 karena Bonek kecewa dengan kekalahan Persebaya dari Arema Malang. Kekecewaan ini mereka lampiaskan dengan merusak infrastruktur stadion, memecahi kaca stadion, dan merusak beberapa mobil dan kendaraan bermotor lain yang ada di luar stadion. ANTV yang menayangkan pertandingan tersebut meliputnya secara vulgar, bahkan berkali-kali menunjukkan gambar rekaman mengenai mobil ANTV yang dirusak oleh Bonek. Aremania menyikapi hal ini dengan menyerahkannya secara total kepada pihak berwajib dan PSSI.

Rivalitas keduanya tidak hanya hadir lewat kerusuhan dan peperangan, tetapi juga dengan nyanyian-nyanyian saat mendukung tim kesayangannya. Bonekmania, di kala pertandingan Persebaya melawan tim manapun, pasti akan menyanyikan lagu-lagu yang menghina Arema dan Aremania. Lagu-lagu yang menyebutkan Arewaria, Arema Banci, Singo-ne dadi Kucing, dan beberapa lagu lain kerap mereka nyanyikan di Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aremania, dimana lagu-lagu anti-Bonek juga mereka kumandangkan kala Arema menghadapi tim lain di Stadion Kanjuruhan. Bahkan persitiwa terbaru adalah tersiarnya kabar mengenai dikepruknya mobil ber-plat N ketika malam tahun baru di Surabaya oleh pemuda berkaos hijau (oknum Bonek?).

Atmosfir Malang – Surabaya
Seperti yang ditulis oleh Feek Colombijn dalam View from The Periphery: Football in Indonesia, dimana ia menyebut bahwa dinamika suporter di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa. Kultur Jawa yang mengutamakan keselarasan dalam harga diri, dimana penolakan yang amat sangat terhadap hal yang bisa mempermalukan diri sendiri, menjadi faktor utama konflik antar suporter di Indonesia. Kultur Jawa yang menghindar dari konflik dan tidak mau dipermalukan menjadi semacam dari anti-thesis dari sepakbola yang harus siap sedia untuk dipermalukan. Tetapi kultur Jawa pula yang memicu reaksi apabila penghinaan itu terjadi di depan umum dan sangat memalukan, maka ekspresi kemarahan dan anarkisme yang muncul untuk menjaga wibawa dan harga diri.

Kondisi ini yang memicu atmosfir panas Malang–Surabaya. Geng pemuda asal Malang yang dibantai oleh Bonek di tahun 1967 memicu perasaan dendam dari Arek Malang. Belum lagi persoalan rivalitas “number one”, dimana dalam level propinsi posisi Malang masih dibawah Surabaya. Sifat tidak terima Arek Malang menjadi nomor dua dibawah Arek Suroboyo ini membuat keduanya susah berjabat tangan. Persaingan atas dasar pride ini berlanjut pasca melorotnya prestasi Persema Malang, dimana Arema mengambil alih posisi rivalitas Malang-Surabaya tersebut.

Pergulatan harga diri ini terlihat jelas ketika Aji Santoso pindah dari Arema ke Persebaya, akhirnya Aji Santoso pun dianggap pengkhianat oleh Aremania. Ketika Aji Santoso ingin kembali ke Malang, ia pun harus melalui begitu banyak tim sebelum akhirnya mengakhiri karirnya bersama Arema Malang. Ahmad Junaedi pun menjadi korban rivalitas Aremania-Bonek. Ketika Ahmad Junaedi sudah menjadi bintang sepakbola nasional dan dibeli Surabaya, maka ketika Persebaya menawarkan Ahmad Junaedi untuk kembali ke Arema pun ditolak oleh Aremania. Akhirnya Arema pun lebih memilih untuk mengasah bakat Johan Prasetyo daripada memakai tenaga Ahmad Junaedi . Dalam hal simbol pun tantangan kepada Bonek juga dikumandangkan. Dengan pemilihan simbol singa menunjukkan bahwa di belantara Jawa Timur Arema ingin menjadi nomor satu, diatas Ikan Sura dan Buaya.

Arema menjadi identitas resistensi daerah terhadap pusat (Surabaya) , dimana melalui dialek jawa timur dengan tatanan huruf yang dibalik pada osob kiwalan khas Malang seolah menunjukkan bahwa Arema menjadi identitas kultural masyarakat Malang. Selain itu Arema juga merupakan pemersatu warga kota Malang yang sebelumnya terpecah pada beberapa desa/wilayah/daerah. Arek Malang selalu berusaha membedakan dirinya dengan arek Suroboyo. Ketika arek Suroboyo itu bondho nekad, maka arek Malang itu bondho duwit. Ketika Bonek itu suka membuat kerusuhan, maka Aremania ingin menyebarkan virus perdamaian. Konflik identitas juga menjadi lahan rivalitas kedua kubu suporter besar Jawa Timur ini.


Kapitalisme Sepakbola
Secara disadari atau tidak, fanatisme dan pertarungan kedua elemen suporter ini menjadi makanan empuk bagi kapitalisme. Sepakbola boleh jadi hari ini tidak hanya berbicara masalah sportivitas dan kesehatan, tetapi juga merambah dalam dunia politik dan ekonomi. Industri sepakbola menjadi salah satu bisnis yang menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha kelas kakap hari ini, tentu dengan syarat mereka bisa mengendalikan iklim sepakbola itu sendiri.

Dalam hal konflik suporter di Jawa Timur, boleh jadi media massa menjadi provokator dalam berbagai peristiwa persepakbolaan di Jawa Timur. Sebagai contoh Jawa Pos misalnya, dimana secara eksplisit menyatakan keberpihakannya kepada Persebaya Surabaya. Dapat dimaklumi sebenarnya apabila melihat kantor redaksi yang berada di Surabaya serta posisi penting para pengurus Jawa Pos dalam kepengurusan Persebaya Surabaya. Dalam beberapa tulisan yang ada, Jawa Pos selalu menampilkan porsi lebih kepada Persebaya, bahkan tidak jarang dukungan kepada Bonek selalu mereka tuliskan dalam berita-beritanya.

PT Bentoel Prima Tbk yang pernah mengakuisisi Arema juga merasakan betul dampak menguntungkan bisnis sepakbola yang mereka bangun. Walaupun menghadapi hambatan begitu banyak dari pesaingnya , tetapi secara materiil PT Bentoel Prima Tbk mengalami keuntungan yang begitu besar dari sekedar pasang tulisan bentoel-arema di kaos para pemain Arema.

Bisnis sepakbola inilah yang sedang menguasai persepakbolaan modern hari ini. Di belahan dunia manapun, modernisasi sepakbola diikuti dengan berkembang pesatnya industri sepakbola. Dalam buku How Soccer Explains The World: An Unlikely Theory of Globalization, Franklin Foer menuliskan bahwa virus globalisasi telah merasuk kian dalam ke dunia sepakbola, dan faktor pride (kebanggaan/fanatisme) menjadi faktor ekonomi yang sangat menguntungkan bagi para kapitalis-kapitalis besar.

Kesimpulan
Modernisasi dalam sepakbola secara tidak langsung diikuti oleh berkembangnya kapitalisme dalam ranah sepakbola. Seolah-olah menjadi kapitalis adalah syarat mutlak untuk mengembangkan sebuah persepakbolaan dalam negeri. Melihat realitas di lapangan, bukan tidak mungkin hal diatas benar adanya. Karena ketika mengembangkan sepakbola tanpa sokongan dana yang kuat tentu akan membuat sebuah badan, klub, atau kompetisi menjadi rontok. Hanya saja kekhawatiran muncul ketika suporter sepakbola dijadikan obyek untuk mengkapitalisasi sepakbola tadi, dimana pada akhirnya suporter sepakbola juga yang dipermasalahkan.

Terkadang, berdasarkan perbincangan dengan kawan-kawan pemerhati sepakbola nasional, kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di lapangan selalu diawali orang orang yang tidak jelas siapa pelakunya. Sebagai contoh ketika terjadi kerusuhan di Madiun, baik Aremania dan Laskar Sakera (pendukung Persekabpas Pasuruan) tidak tahu menahu siapa yang memulai melempari batu-batu ke arah penonton. Tetapi karena yang hadir di stadion saat itu adalah Aremania dan Laskar Sakera, tentu pada akhirnya bentrok fisik tidak dapat dihindari. Efek pasca kejadian hari itu adalah banyaknya toko-toko yang tutup di Madiun, image PT Bentoel Arema Tbk juga tercoreng, dan entah mengapa beberapa hari sesudahnya media massa begitu laku di pasaran.

Begitu pula yang terjadi saat kerusuhan Bonek di Stadion Gelora 10 November di Surabaya beberapa tahun lalu. Dimana mau tidak mau Aremania harus mengakui bahwa kemenangan PS Arema atas Persebaya Surabaya hari itu cukup kontroversial, ada kesan wasit memihak Arema. Kemenangan 2-1 untuk Arema pun harus dibayar mahal dengan perusakan stadion dan beberapa fasilitas umum beserta kendaraan pribadi oleh Bonek yang menonton hari itu.

Begitu banyaknya tangan-tangan tak terlihat yang bermain-main diatas konflik suporter tentunya harus diwaspadai oleh Aremania maupun Bonek. Jangan sampai begitu banyak orang mati sia-sia saat pertempuran kedua suporter tersebut ternyata hanya menjadi ‘mainan globalisasi’ oleh segelintir orang yang ingin mengambil keuntungan didalamnya. Untuk itulah perlunya melihat kembali sejarah konflik antar kedua elemen suporter ini, supaya kejadian-kejadian negatif dapat diminimalisir dan era baru yang lebih damai dapat tercipta.

Kultur masyarakat Jawa yang melingkupi konflik Aremania-Bonek seharusnya bukan menjadi kambing hitam atas berbagai peristiwa yang terjadi. Sudah seharusnya dua elemen suporter yang sudah dikenal akan militansinya ini berdamai dan menciptakan suasana kondusif dalam persepakbolaan nasional. Sudah saatnya baik Aremania maupun Bonek untuk mendewasakan diri dengan melihat dari kacamata modernisasi dan sportivitas dalam mendukung tim kesayangannya. Tidak ada salahnya Bonek turut bergabung dalam usaha mewujudkan suporter Indonesia damai, sehingga mampu membuat suasana stadion begitu damai dan orang tidak perlu takut untuk menyaksikan secara langsung pertandingan sepakbola di tanah air.



“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama,”
Yuli Sumpil – Dirigen Aremania


http://cak-faris.blogspot.com/2010/01/sepakbola-kapitalisme-dan-konflik.html
Baca selanjutnya >>

VIKING vs JAKMANIA versi 2

Sebelumnya, diharapkan  anda membaca terlebih dahulu  Viking vs Jakmanis versi 1, karena dengan seperti itu, bisa menjadi bahan pertimbangan kemana arah pandang anda menanggapi masalah ini. Pada dasarnya, tiap versi memiliki kelebihan atau hanya memberatkan satu pihak dan memenangkan pihak yang lain. Saya yakin, Kedewasaan cara pandang anda akan membangun hubungan dan sikap yang membawa PERDAMAIAN.
\

versi 2 :

Perseteruan antar suporter Persija dan Persib sudah berlangsung lama, tepatnya sejak tahun 2000 yaitu bertepatan dengan Liga Indonesia 6 berlangsung. Di putaran 1 sekitar 6 buah bis suporter Persib datang ke Lebak Bulus dan masuk ke Tribun Timur. Mereka terdiri dari banyak unit suporter seperti Balad Persib, Jurig, Stone Lovers, ABCD, Viking dll. Saat itu yang terbesar masih Balad Persib. Meski sempat nyaris terjadi gesekan dengan the Jakmania, tapi alhamdulilah tidak terjadi bentrokan yang lebih luas. Justru suporter Persib bergerak ke arah the Jakmania tuk berjabat tangan. Gw inget banget yel mereka waktu itu : “ABCD… Anak Bandung Cinta Damai”. Selesai pertandingan suporter Persib juga didampingi the Jakmania menuju bus mereka. The Jakmania mengikuti dengan menyanyikan lagu Halo Halo Bandung.

Penerimaan the Jakmania membuat Viking berniat tuk mengundang datang ke Bandung saat putaran 2. Dialog berlangsung lancar karena seorang Pengurus the Jakmania yg bernama Erwan rajin ke Bandung tuk bikin kaos. Hubungan Erwan dengan Ayi Beutik juga konon akrab banget sampe2 Erwan pernah cerita kalo dia suka sama adiknya Ayi Beutik. Melalui Erwan jugalah Viking menyatakan keinginannya tuk mengundang dan menyambut the Jakmania di Bandung meski mereka sendiri masih khawatir dengan sikap bobotoh yang lain.

The Jakmania saat itu belum sebesar sekarang. Yang nonton di Lebak Bulus aja cuma di sisi Selatan tribun Timur. Jd bersebelahan dengan Viking. Nah ajakan Viking itu langsung kita bahas, dan kita memang sudah punya niat tuk melakoni partai tandang. Dibentuklah kemudian perencanaan, salah satunya dengan mengutus Sekum dan Bendahara Umum the Jakmania saat itu yaitu Sdr Faisal dan Sdr Danang. Mereka ditugaskan tuk melobi Panpel Persib dari mulai masalah tiket hingga tribun the Jakmania. Kebetulan Danang lagi kuliah di Bandung sehingga tempat kosnya jadi tempat kumpulnya the Jakers disana. Selain mereka berdua memang adalagi yang menawarkan diri tuk bantu seperti Sdr Budi Rawa Belong.

Jujur gw katakan kita memang belum pengalaman mengkoordinasikan anggota tuk nonton tandang. Tapi yang menjadi masalah justru bukan di koordinator tapi di anggota. Banyak anggota yang bandel daftar pada hari H nya. Jumlah yg tadinya cuma 400 orang berkembang menjadi 1000 orang lebih! Bayangin gimana repotnya kita nyari bis tuk ngangkut segitu banyak orang. Akibatnya kita berangkat baru jam 12 siang! Itu juga terpecah menjadi 3 rombongan. Satu bis berangkat lebih dulu karena akan ganti ban. Disusul 4 bus kemudian. Dan terakhir termasuk gw berangkat dengan 4 bus tambahan.

Keberangkatan kita sendiri juga masih diliputi keraguan apakah dapat tiket atau tidak. Tim Advance yg diutus mendapatkan kesulitan mencari tiket. 4 hari sebelum pertandingan terjadi kerusuhan di stadion Siliwangi akibat distribusi tiket yang kurang lancar. Ada seorang Vikers yang menganjurkan the Jak tuk hadir di acara khusus pertemuan tim dengan suporternya. Faisal, Danang dan Budi ambil keputusan tuk hadir di acara itu. Disana mereka sempat bertemu Walikota Bandung, Kapolres, Ketua Panpel dan Ketua Keamanan. Mereka semua menjamin bahwa the Jakmania akan bisa masuk dan tiket akan disiapkan khusus. Paling tidak itulah info yang gw dapet dari tim Advance.

1 bis pertama tiba di Stadion Siliwangi. Viking siap menyambut dan mempersilahkan masuk ke stadion, padahal tiket belum di tangan. Sayang hal yang dikhawatirkan Viking terbukti. Perlahan tapi makin lama makin banyak datanglah bobotoh nyamperin the Jak dengan sikap yang tidak simpatik. Melihat gelagat buruk ini Viking minta the Jak tuk keluar dulu ke stadion sambil menunggu rombongan berikut. Sembari menunggu, beberapa rekan ada yang melaksanakan sholat ashar dulu. Ketika selesai sholat, mulailah terjadi hal2 yang tidak diinginkan. Rekan2 kita mendapatkan pukulan disana sini dengan menggunakan kayu. Salah satunya (gw lupa namanya) tersungkur berlumuran darah yang keluar dari kepalanya. Melihat situasi ini the Jakmania kembali diungsikan menjauh dari stadion.

Rombongan besar 8 buah bis akhirnya tiba juga. Tapi karena terlambat, stadion Siliwangi sudah penuh sesak. Lagipula kita tetap tidak berhasil mendapatkan tiket. Panpel memang kelihatan salah tingkah dan berusaha mengumpulkan dari calo2 yang masih beredar di sekitar stadion, namun jumlahnya juga tidak memadai hanya 300 lembar. Sementara bobotoh yang masih berada di luar juga mulai melakukan serangan terhadap the Jakmania. Gw sempet coba menenangkan dan cekcok dengan seorang bobotoh yang ngambil dengan paksa kacamata anggota kita. Bobotoh itu bilang kalo dia kesal sama anak Jakarta karena mereka juga diperlakukan dengan tidak simpatik di Jakarta ketika menyaksikan pertandingan Persijatim vs Persib di Lebak Bulus. Mereka tidak mau tau kalo Persijatim tu beda dengan Persija. Seingat gw kejadian ini sempat direkam foto oleh wartawan dari Tabloid GO dan terpampang jelas esoknya di media tersebut. Dan kalo ga salah yang nyerang kita tu pake kaos Stone Lovers dan Persib. Mungkin ada juga yang laen karena gw dah lupa dan kurang jelas.
Gw lalu ngambil inisiatif tuk nyari rombongan pertama yang dateng duluan dan mengajak mereka tuk gabung ke rombongan besar. Disana gw minta maaf ke semua anggota karena gagal membawa rombongan sampai masuk ke stadion. Di situ dari Panpel juga sempat minta maaf. Namun kondisi ini tidak bisa diterima oleh seluruh rombongan, bahkan mereka juga tidak mau berjabat tangan dengan 3 orang Viking yang masih setia mengawal meski pertandingan sudah berlangsung.

Ketika rombongan hendak pulang, tiba2 kita diserang lagi oleh bobotoh yang masih nunggu di luar stadion. Kondisi ini jelas tidak bisa diterima. Sudah ga bisa masuk masih juga diserang. Akhirnya kita balas perlakuan mereka. Jumlah bobotoh di luar stadion masih ratusan sehingga terjadilah bentrokan yang mengakibatkan pecahnya kaca2 mobil akibat terkena lemparan dari kedua kubu. Ketika polisi datang, keributan mereda dan the Jakmania mulai beranjak pulang. Sempat pula terjadi bentrok beberapa kali ketika rombongan berpapasan dengan bobotoh yg pulang karena tidak kebagian tiket.

Beberapa waktu kemudian ketika Tim Nasional akan bertanding di Senayan, Viking Jakarta berniat datang. Gw melihat gelagat kurang baik jadi gw minta mereka tuk selalu jalan berdampingan dengan gw. Ketika pertandingan selesai, ada sedikit cekcok antara beberapa orang the Jakmania dengan pendukung PSIS Panser Biru Jakarta. Gw kemudian meminta Sdr Aceng tuk ngawal Panser Biru hingga mereka pulang. Ketika gw hendak kembali ke rombongan Viking, ternyata mereka sudah diserang oleh sekelompok the Jakmania. Buru2 gw lari kesana dan ngambil lagi syal Persib yang sudah diambil. Viking gw kawal trus dibantu seorang anggota dari Tanjung Duren. Di depan, seorang anggota Viking yang mengalami serangan jantung dibawa naik taksi tuk pulang. Sisanya gw temenin sampe Polda Metro Jaya. Kalo ga salah ad Viking Depok yang namanya Rusdi. Sebetulnya menurut gw serangan the Jak saat itu tidak separah ketika kejadian di Bandung. Toh tidak ada satupun anak Viking yang cedera. Cuma sayang ternyata di antara mereka ada juga yg berasal dari Bandung dan entah apa yang mereka ceritakan disana, Viking langsung membalas ketika kita bertandang ke Cimahi melawan Persikab Kabupaten Bandung.

The Jakmania awalnya bebas bernyanyi dan memberikan dukungan ke Persija. Tapi Viking yang awalnya berada di seberang tribun kita mulai bergerak menghampiri tanpa ada satupun usaha pencegahan dari Panpel. Ketika dekat mereka langsung meneriakkan kata2 penuh kebencian disertai lemparan benda2 keras dan botol ke arah kita. Salah satunya mengenai Sdri Temi yang langsung jatuh pingsan. Gw coba menelpon Sdr Heru Joko Ketua Umum Viking tuk minta bantuan menghalau anggotanya. Heru saat itu bilang kalo dia masih di perjalanan tapi akan segera datang. Belakangan gw dapat kabar dari seorang wartawan kalo Heru ternyata sudah tiba sejak awal pertandingan …..???!!! Ketika pertandingan usai, Panpel meminta the Jakmania bertahan dulu di tengah lapangan hingga suasana aman.

The Jakmania kemudian keluar stadion dengan pengawalan ketat. Diluar kita diangkut dengan truk polisi dan panser menuju jalan tol dimana bus2 kita sudah menunggu. Sampai disana kita mendapati bus kita dalam kondisi hancur berat. Salah seorang anggota yang usianya mencapai 70 tahun lebih ternyata sudah berada di dalam bis ketika penyerangan berlangsung. Dia jadi saksi bagaimana seluruh tas dan perbekalan diambil oleh Viking yang tidak bertanggung jawab tersebut. Gw langsung telpon lagi Heru Joko tuk protes keras kenapa dia tidak berusaha meredam amarah anggotanya dan kenapa dia berbohong mengatakan kalo dia belum tiba di stadion. Tidak ada penjelasan apapun yang memuaskan hati gw. Dan mulai saat itu gw pikir sangat sulit tuk berharap hubungan membaik bila pimpinan tidak berusaha tuk meredam api permusuhan ini.

Sejak saat itulah api dendam dan permusuhan terus berkobar di kedua belah pihak. Puncaknya di acara Kuis Siapa Berani di Indosiar. Acara ini diprakarsai oleh Sigit Nugroho wartawan Bola yang terpilih menjadi Ketua Asosiasi Suporter Seluruh Indonesia. Waktu itu Sigit sempat telpon gw dan minta supaya the Jak yg dateng jangan banyak2 tuk menghindari bentrokan. Gw tunjuk 20 orang peserta dab 3 orang cadangan sesuai permintaan Indosiar, plus 1 orang lagi bagian dokumentasi. Mereka cuma gw ijinin pake 3 buah mobil pribadi, karena kalo gw nyewa bis nanti banyak yang ngikut. Gw sendiri ga ikut acara itu karena harus kerja.

Sayang bentrokan ternyata ga bisa dihindari. Bukan gw memihak tapi faktanya memang Viking yang mulai. Mereka neriakin yel2 “Jakarta Banjir” yang dibales juga oleh the Jak. Suasana memanas hingga akhirnya terjadi benturan fisik. Ketika ditelpon gw langsung menuju Indosiar pake taksi. Sampe disana sebagian the Jakmania sudah diluar Indosiar, di dalam gw liat 6 orang the Jak sedang berselisih dengan Viking. Melihat hal yang tidak sebanding ini gw langsung mendesak ke arah Viking tanpa gw tau siapa yang gw serang itu. Sebelumnya gw nyamperin dulu Aremania dan Pasopati yang hadir disana. Yang gw heran kenapa Viking hadir disana dalam jumlah yang cukup besar, 2 bis berisi 74 orang.

Letak Indosiar di Jakarta, jadi ga heran pelan2 berdatanganlah para suporter Persija kesana. Suasana sudah tidak terkendali dan atas inisiatif Polisi dan Indosiar, Viking langsung diungsikan dengan menggunakan truk Polisi. Namun kejadian ini ternyata dah menyebar luas kemana-mana hingga akhirnya terjadilah penyerangan terhadap rombongan Viking di tol Kebon Jeruk.
Setelah kejadian itu gw beberapa kali mendapat panggilan dari pihak kepolisian. Saat itu gw membantah kalo terjadi penyerangan yang memang dikoordinir oleh the Jakmania. Juga gw bantah kalo terjadi perampokan. Gw juga heran gimana Viking menyatakan klo hadiah menang kuis dirampok the Jak padahal hadiah itu kan belum diserahkan pihak Indosiar. Hadiah untuk the Jak pun sampe sekarang ga kita terima. Saat itulah nama the Jakmania menjadi buruk. Di mata media the Jakmania tidak menerima kalah sehingga menyerang. Opini sudah terbentuk dan masyarakat di Bandung juga ikutan menghujat, sementara di Jakarta menyayangkan.

Ya sudahlah. Biarin orang ngomong apa, tapi ga menyurutkan kebanggaan gw terhadap Persija dan the Jakmania apapun kondisinya. Paling tidak di mata gw sekarang Viking cuma bisa bekoar nantang tapi ketika kalah mereka malah ngadu ke polisi. Sesuatu yang dimata gw sangat tidak suporter.

Semenjak terjadi permusuhan dengan the Jakmania, apalagi setelah kejadian Indosiar, Viking berkembang pesat menjadi suporter yang dominan di Bandung. Mereka terus menebarkan kebencian ke the Jak dengan mengeluarkan kaos2 dan lagu2 yang bersifat menghujat the Jak. Reaksi anggota the Jakmania juga heboh. Mereka rame2 bikin kaos yang balas menghujat viking. Tapi semua ga ada yang jadi karena gw melarang seorangpun tuk bikin kaos yang bertuliskan viking/persib meski dalam bentuk hujatanpun. Bagi gw tulisan yang pantas berada di kaos suporter Persija hanyalah PERSIJA dan THE JAKMANIA.

Cuma akhirnya gw nyerah juga, biar gimana gw ga mungkin ngelawan arus trus. Ini terjadi ketika Ismed Sofyan diserang sama Viking di Bandung ketika uji lapangan. Kondisi kaya gini dah ga bisa gw terima. Sejak itulah bertubi-tubi keluar desain2 dan yel-yel serta lagu menghujat mereka. Cuma tetep ada bedanya the Jak sama Viking. Kalo the Jak nyanyi hujatan hanya saat pertandingan melawan Persib, tapi klo Viking sepertinya hendak melakukan propaganda kepada anggotanya dan masyarakat bola. Mereka terus melakukan hujatan meski saat itu Persib tanding melawan tim lain.

Sikap ini justru malah mengobarkan api kebencian suporter Persija terhadap Viking. Sehingga the Jakers banyak yang benci mereka bukan karena tau kejadian awalnya, tapi karena mereka ga suka dikata-katain terus. Belakangan Komisi Disiplin mengeluarkan larangan akan hal-hal seperti ini. Terlambat! Dan penerapannya juga ga konsisten, masih banyak yang tetap melakukannya, bukan hanya Viking atau the Jakmania tapi hampir di semua stadion di Indonesia.

Sebetulnya ada juga pihak2 yang mengusahakan perdamaian. Panpel Persib pernah berinisiatif mempertemukan the Jakmania dan Viking di Bandung. Gw sendiri hadir saat itu bersama 2 orang lagi, Heru Joko hadir bersama 3 orang temannya, Panpel Persib dan Manajer Persija saat itu Bpk IGK Manila. Tapi pertemuan tersebut buntu karena tidak ada niat dari Heru Joko tuk berdamai.

Perseteruan makin melebar. Semakin banyak Viking yang masuk ke website the Jakmania dan menebarkan virus kebencian … semakin banyak dan besarlah kebencian the Jakers ke mereka. Bahkan Panglima Viking Ayi Beutik sempat mengeluarkan pernyataan tuk menjaga kelestarian permusuhan ini seperti Barcelona dan Real Madrid.

Gw sih sebetulnya dah masa bodo dengan hal ini. Konsentrasi gw sekarang kan di tim, dan the Jakmania sudah punya pengurus yang baru. Tapi gw juga ga bisa tinggal diam bila permusuhan ini merembet ke tim masing2. Setelah beberapa kali mendapat perlakuan buruk tiap bermain di Bandung, akhirnya the Jak melakukan pembalasan pada bis Persib di Lebak Bulus. Jujur, gw tidak setuju dengan cara seperti ini, meski gw juga tidak menyalahkan. Seminggu sebelumnya gw dah bilang di forum the Jakmania di sekretariat Lebak Bulus, kalo Heru Joko ketua Viking, ikut bantu mengamankan bis Persija di Bandung. Ia bahkan berada langsung dalam bis Persija. Tapi masa disana memang sudah sulit terkendali bahkan oleh ketuanya sekalipun. Apa boleh buat? The Jakmania sudah melaksanakan pelampiasan dendamnya, sayangnya dengan melakukan tindakan yang sebelumnya mereka cela.

Sekarang permusuhan the Jakmania kontra Viking menjadi warna tersendiri bagi sepakbola Indonesia. Seorang sutradara tertarik menjadikan perseteruan ini sebagai inspirasi dalam filmnya yang berjudul ROMEO & JULIET. Lucunya di tengah perseteruan, mereka justru kompak untuk menolak film ini dengan alasannya masing2. Bedanya di Bandung .. Ketua Viking dengan didukung anggotanya membuktikan ucapannya dengan menggagalkan pemutaran film ini. Sementara di Jakarta justru sebaliknya, meski pimpinan menyatakan akan menuntut tapi toh hampir semua bioskop2 di jabodetabek dipenuhi oleh orang oren yang memang sudah ga sabar menanti film ini diputar.

Nah, itulah kisah panjang tentang permusuhan 2 kelompok suporter besar di Indonesia, paling engga dari kacamata gw. Tulisan ini dibuat atas permintaan seorang bobotoh yang penasaran dengan sebab musabab permusuhan tersebut. Gw juga ga suka dengan orang yang berkomentar sinis baik terhadap the Jakmania maupun Viking. Mereka itu tidak tau apa2, bisanya cuma menghakimi aje. Ada hak apa mereka menghujat? Liat dulu kisahnya baru mereka akan berpikir dan bantu mencarikan solusi.

saya : menyambung komentar saya tentang versi-versi yang berbeda di entri yang sebelumnya, statment diatas dikeluarkan oleh mantan ketua jakmania era pra perseteruan (viking jakmania masih saudara) hingga saat puncak penyebab meletusnya perseteruan. Ia mengeluarkan statment karena diminta oleh bobotoh yang bingung atas duduk perkara kasusini dan dengan tujuan agar angggotanya (jakmania) tidak terprovokasi dan sedikit menunjukan pembelaan posisinya sebagai ketua jakmania dalam hal ini penanggung jawab tertinggi dari pihak jakmania atas kasus ini, supaya semua pihak lebih terbuka melihat kasus ini jangan hanya dari satu sudut saja. Versi diatas ini banyak tersebar di blog-blog atau web-web jakmania dan jarang muncul di di blog-blog atau web-web viking. Entahlah, toh versi sebelumnya pun jarang muncul di wilayah jakmania.
Terwujudnya perdamain terlalu rumit dan akan selalu rumit menurut saya jika ego dan gengsi masih dikibarkan. Apalagi ternyata ada oknum-oknum tertentu yang memang sengaja memanfaatkan dan mewariskan situasi ini ke generasi baru demi keuntungan pribadi, sungguh terlalu.
Baca selanjutnya >>

VIKING vs JAKMANIA versi 1

Perdebatan Banyak yang tidak tahu dan bertanya, bagaimana sebenarnya permusuhan Viking dengan the jak bermula. Mengapa timbul rasa benci dalam benak masing-masing dari mereka. Hingga kini, keduanya masih saja berseteru. Bahkan semakin meruncing.
Penyebabnya sepele dan manusiawi, rasa iri. Iri hati dan sirik inilah yang membuat keduany...a bermusuhan. Rentang waktu 1985 hingga 1995 adalah masa keemasan Persib. Sementara Viking yang berdiri tahun 1993 begitu setia mendukung klub kebanggaan warga Jawa Barat itu. Dimanapun Persib bermain, disana pasti ada Viking. Termasuk jika bermain di Jakarta. Semua menjadi lautan biru.
Inilah yang membuat anak muda ibukota iri. Selain kejayaan Persib kala itu, kesetiaan Viking membuat hati mereka panas. Saat itu muda-mudi betawi baru mampu membentuk kolompok kecil bernama Persija Fans Club. Walaupun begitu, kebesarkepalaan mereka sudah sangat menjadi. Hingga terjadilah insiden di stadion Menteng. Saat Persija menjamu Maung Bandung pada Liga Indonesia ke-2. Viking membirukan Ibukota dengan sekitar 9000 anggotanya. Sementara Persija Fans Club hanya berjumlah tak lebih dari 1000 orang. Rupanya bocah-bocah betawi itu tak rela kandangnya dikuasai supporter kota lain. Mereka pun membuat ulah. Seakan lupa jumlah mereka tak lebih dari 10% anak-anak Bandung. Hingga akhirnya, mereka mendapatkan akibatnya. Dengan kuantitas yang hanya satu tribun VIP, lemparan batu diarahkan Viking pada lokasi mereka menonton. Dan itu dilakukan Viking di Jakarta. Hal yang tidak berani dilakukan bocah Jakarta di Kota Kembang.

Singkat cerita, pada tahun 1997, muda-mudi ibukota ikut-ikutan membentuk perkumpulan supporter. Mereka menamakannya the jakmania. Kebodohan the jak terekspos keseluruh negeri ketika mereka tak berdaya menghadapi Viking dalam kuis Siapa Berani. Kuis yang menguji wawasan dan kemampuan berpikir. Itu merupakan edisi khusus kuis Siapa Berani, edisi supporter sepak bola. Menghadirkan Viking, the jak, Pasoepati (Solo), Aremania, dan ASI (Asosiasi Suporter Indonesia). Pemenangnya, Viking. Perwakilan Viking berhasil melewati babak bonus dan berhak atas uang tunai 10 juta rupiah. Seperti biasanya, rasa iri dari the jak muncul. Malu dikalahkan di kotanya sendiri, ketua the jak saat itu, Ferry Indra Syarif memukul Ali, seorang Viker yang menjadi pemenang kuis. Sungguh perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang ketua. Ketuanya saja begitu, apalagi anak buahnya?

Kejadian itu terjadi di kantin Indosiar, ketika dilangsungkannya acara pemberian hadiah. Kontan keributan sempat terjadi, namun berhasil diatasi. Kesirikan the jak tak sampai disitu. Mereka menghadang rombongan Viking dalam perjalanan pulang menuju Bandung, tepatnya di pintu tol Tomang. Anak-anak Bandung yang berjumlah 60 orang pulang dengan menggunakan dua mobil Mitsubishi Colt milik Indosiar dan satu mobil Dalmas milik kepolisian. Ketiga mobil ini dihadang sebuah Carry abu-abu. Dua lolos, namun nahas bagi salah satu Mitsubishi Colt yang ditumpangi para anggota Viking. Mobil itu terperangkap gerombolan the jak. Kontan, mobil dirusak, Viking disiksa, dan uang para pendukung pangeran biru itu pun dijarah. Termasuk handphone dan dompet mereka. Tercatat sembilan anggota Viking mengalami luka-luka. Tiga diantaranya terluka parah. Namun sayang, pihak kepolisian lamban dalam menyelesaikan kasus ini. Termasuk dalam menangkap the jak yang merampok dan menganiaya anggota Viking Persib Club.

Hingga saat ini perseteruan kedua kelompok supporter itu masih terus berlanjut. Viking, yang memiliki anggota terbanyak di Indonesia, memiliki kreatifitas tinggi, terbukti dengan julukan “Bandung kota mode, musik, dan seniman” (bahkan the jak pun belanja ke Bandung), dengan the jak yang memiliki title kota ibukota. Entah kapan ini berakhir…

Menarik sekali membahas pertemuan Persib dan Persija karena dua klub ini merupakan dua klub legendaris dan memiliki sejarah besar sejak zaman Perserikatan dulu. Aroma klasik dan dendam selalu mewarnai pertandingan ini. Mungkin tensi pertandingan ini setara dengan Inter vs Juventus di Serie-A atau Barcelona vs Real Madrid di La Liga.

Berbicara tentang klub, tentu tak lepas dari suporter. Ini yang cukup menarik. The Jak dan Viking sejak dulu selalu berseteru di dalam dan luar lapangan. Teror kepada pemain Persib dan Persija selalu terjadi setiap kedua tim itu bermain di Bandung ataupun Jakarta. Bentrokan antar kedua kubu acapkali terjadi. Bagaimana awal mula perseturuan kedua kubu itu berasal?? Ada beragam versi. Baca aja komen-komen di bawah. Saya juga bingung jadinya. Viking menyalahkan The Jak, The Jak menyalahkan Viking.

Hmmm.. apakah hanya Viking musuh The Jak? Setelah saya “berjalan-jalan” di dunia maya ternyata bukan hanya Viking yang membenci The Jak. Bonek, La Viola, Persipura mania, kabomania, bahkan North Jak yang sekota dengan The Jak pun sangat membenci suporter oranye itu.. Mungkin ini salah satu alas an viking membenci the jak?? Bisa dibilang musuh the jak sahabat viking, sahabta The Jak berarti musuhnya Viking.
Ditambah lagi ada film Romeo-Juliet yang kontroversial justru memperparah permusuhan The Jak dan Viking. Patutkah Kebencian Ini terus ada??? Rasanya memang susah menghapuskan luka dan dendam yang sudah ada. Memang permusuhan itu harus tetap ada tapi hanya sebatas di lapangan. Lihatlah Barcelonista dan Madridista, permusuhan mereka hanya di lapangan atau pun sebatas di website, hanya saling ejek. Tak pernah ada bentrok fisik, suporter bisa datang ke Madrid atau Barcelona. Tak pernah ada bentrokan. Atau lihat antara Milanisti dan Interisti. Saat Milan tak lolos Liga Champions, Interisti sangat puas dan mengejek AC Milan. Saat musim ini Milan tanpa gelar, Interisti membentangkan spanduk Milan Merda (merda= ejekan bahasa Italia) dan juga Zero Tituli (nol gelar) untuk mengejek Milan bukan mengejek Milanisti. Tapi mereka tetap bisa hidup rukun dalam satu kota. Bahkan saat derby berlangsung jarang sekali sada bentrokan. Kedua suporter bisa menonton dengan tenang.

Mengapa begitu? Karena di luar negeri berbeda dengan di sini. Di saana yang dibenci klubnya, kalo di sini yang dibenci suporternya. Interisti membenci AC Milan dan Juventus tapi tidak membenci Milanisti dan Juventini. Bisa diliat di FB pun ada grup anti Juventus dan antiMilan bukan anti Milanisti ataupun anti juventini.

Kalo di kita yang dibenci lebih pada suporternya bukan pada klubya. Ada grup antiViking, anti Jakmania. Bukan anti Persija atau anti Persib.

saya : ya...siapa yang tidak tahu perseteruan antara viking (suporter persib) vs jakmania (suporter persija)?. Tentang awal mula dan sejarahnya, setiap kubu memiliki versi cerita dan statment masing-masing, dimana rata-rata memiliki perbedaan. Statment di atas adalah salah satu statment yang sedikit kontroversial, tapi bagaimana cara kita memandangnya mudah-mudahan kearah positif. tak sedikit orang atau kubu tertentu terprovokasi oleh statment tertentu yang mengakibatkan ke arah perpecahan atau kerusuhan yang mengakibatkan kerugian, bahkan kerugian dipihak-pihak yang tidak terlibat. Mari kita berfikir pintar..


setelah ini wajib baca Viking vs Jakmania Versi 2 , ,
Baca selanjutnya >>